Selasa, 25 Agustus 2009

IBNU HAZM, AMIR ULAMA ANDALUS. IBNU HAZM, PEMIMPIN ULAMA ANDALUSIA

NASAB DAN KELAHIRANNYA
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Sufyan bin Yazid lahir di sisi Timur kota Cordova di Andalusia, yaitu pada hari terakhir di bulan Ramadhan, tahun tiga ratus delapan puluh empat Hijriah. Kelahirannya pada malam itu setelah fajar dan sebelum matahari terbit. Nama panggilannya adalah Abu Muhammad dan terkenal dengan nama Ibnu Hazm.
Nenek moyangnya yang tertinggi pergi dari negeri Persia menuju Andalusia. Dia dan keluarganya mempunyai kedudukan yang cukup sejak mereka mulai sampai di Andalusia. Sampai dikatakan tentang mereka, “Bani Hazm adalah komunitas yang berilmu, beradab, berpengalaman dalam mengatur perkara. Mereka memiliki ketinggian ilmu, ketinggian kedudukan dan keagungan.”
Ibnu Hazm terkenal karena ilmunya yang mencapai puncaknya. Walaupun keluarganya mempunyai kedudukan dalam kementerian pada pemerintahan Andalusia, walaupun dia sendiri pernah menjabat sebagai Menteri untuk beberapa Amir, tetapi pada akhirnya dia berpendapat bahwa kemuliaan, keselamatan dan kehormatan ada pada ilmu. Akhirnya dia pun terkenal karena ilmunya, namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang Imam dalam fikih, sebagai seorang sejarawan, seorang penulis juga sebagai seorang penyair.
Ibnu Hazm lari dari kehidupan politik dan menjadi sosok yang mencintai ilmu. Kesibukannya bergaul dengan manusia diubahnya menjadi sibuk dengan buku-buku. Dia menemukan sesuatu yang membuatnya tidak ragu, menemukan teman yang tidak diragukan lagi kejujuran cintanya di dalam buku. Dia selalu mempelajari setiap buku yang ada di hadapannya.
PERTUMBUHANNYA
Orangtuanya sangat memperhatikan pendidikannya, sangat bersungguh-sungguh dalam mendidik dan mendewasakannya dengan pendidikan yang kuat dalam kehidupannya yang serba mudah. Orangtuanya tidak melepaskan diri dari menjaga dan memperhatikan kecenderungan anaknya.
Ibnu Hazm mampu menghapal Al-Qur’an dalam usia yang masih sangat muda, belajar sastra Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, juga apa yang terkandung dalam Al-Qur’an dari kisah-kisah dan berita lainnya. Dia belajar menulis dan selalu melatih kaligrafinya, sehingga tulisannya menjadi baik. Dia juga menghapal banyak syair yang selalu dia gunakan dalam berbicara.
Saat dia mulai tumbuh dewasa, bapaknya mengirimkannya untuk menemani seseorang yang bertakwa, jiwa dan akhlaknya lurus, dia adalah Syaikh Abu Husain Ali al-Fasi, yang menjadikan Ibnu Hazm selalu sibuk dengan majlis-majlis ilmu para Syaikh dan Ulama, dia belajar ilmu dari mereka.
Ibnu Hazm kecil kagum dengan Syaikhnya. Kekaguman inilah yang menjadikan dia menutup pintu hatinya agar tidak terjerumus pada dosa dan syahwat sejak kecilnya. Hal itu dikarenakan tauladan yang baik akan lebih dapat menggiring jiwa dan mempengaruhinya, daripada nasehat-nasehat yang diucapkan, atau pengarahan-pengarahan.
Pada saat Syaikh Abu Husain al-Fasi wafat, Ibnu Hazm sedang dalam perjalanan haji. Dia pun pergi menemui para Syaikh untuk meneguk ilmu dari mereka dan mengikuti akhlak mereka yang mulia. Dia belajar hadits kepada Ahmad bin Jusur dan al-Hamdzani, kemudian meriwayatkan hadits darinya.
Pada saat terjadi kekacauan politik di Cordova, terjadi fitnah dan orangtuanya kehilangan jabatan kementeriannya, maka kehidupan Ibnu Hazm berubah. Dari yang tadinya hidup serba mudah menjadi hidup yang susah, sehingga keluarganya terpaksa meninggalkan istananya di Timur Andalusia menuju ke Barat Andalusia, saat itu Ibnu Hazm berusia lima belas tahun.
Saat kekacauan dan fitnah itu terus terjadi, keluarganya terpaksa keluar dari Cordova menuju ke Kota Maria pada awal bulan Muharram tahun empat ratus empat Hijriah.
Cobaan ini telah meninggalkan bekas yang sangat kuat pada pribadi Ibnu Hazm. Barangkali belajarlah yang seharusnya dia lakukan dengan sungguh-sungguh, agar kekuatan jiwanya bertambah mantap, karena kehidupan yang serba mudah telah membuat jiwanya lunak, tidak ada kesungguhan, tidak giat dalam hidup, tidak dapat merasakan nikmatnya bekerja, tidak dapat merasakan nikmatnya kerukunan, yang dirasakan hanya kekerasan musuh dan dia tahu manis dan pahitnya kehidupan.
Begitu juga dengan gambaran kehidupan Ibnu Hazm secara keseluruhan. Dia merasakan percampuran antara hidup senang dan hidup susah, antara kemudahan dan kepayahan hidup. Dia hidup diantara kelembutan perasaan hingga perdebatan yang kuat.
DI PALENCIA
Ibnu Hazm ditangkap dan masuk penjara di kota Maria, kemudian pindah ke Palencia pada awal tahun empat ratus delapan Hijriah.
Pada awal kehidupan ilmiahnya, Ibnu Hazm belum mencurahkan seluruh hidupnya untuk mempelajari fikih, tetapi dia belajar hadits Nabawi, ilmu-ilmu Al-Qur’an, sastra, nahwu, bahasa dan beberapa ilmu rasional juga filsafat.
Pada suatu hari, Ibnu Hazm masuk ke dalam majlis para Ulama di Palencia, yang sedang mempelajari fikih madzhab Imam Malik Radhiyallahu Anhu. Dia mendengarkan mereka dan merasa kagum.
Lalu Ibnu Hazm bertanya kepada yang hadir tentang suatu masalah dalam fikih dan dijawab…Beberapa orang dari mereka dengan sombong dan bersikap meremehkan berkata kepada Ibnu Hazm, “Ini bukan spesialisasi kamu.”
Ibnu Hazm pun bangkit dan pergi ke rumahnya. Dia pun mulai mencurahkan dirinya untuk belajar fikih selama beberapa bulan. Dia memberikan perhatian yang sangat besar pada fikih, sehingga dia dapat menjadi orang yang mempunyai pendapat sendiri, tanpa bertaklid kepada siapapun, kecuali kepada para Sahabat dan Kibar Tabi’in.
Ibnu Hazm juga telah mempelajari Madzhab Maliki, dia membaca kitab al-Muwatha kepada Abdullah bin Dahun. Kemudian dia juga terus mempelajari fikih yang lain kepadanya, dan kepada Ulama yang lainnya -diantaranya adalah Abdullah Al-Azdi yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Fardhi, seorang Qadhi di Palencia-, dia juga belajar Madzhab Syafi’i, dengannya dia mengenal madzhab orang-orang Irak, kemudian dia belajar fikih al-Ma’tsur dan yang lainnya.
Tetapi jiwanya tidak merelakan untuk tetap pada satu madzhab dan tidak keluar darinya. Akhirnya dia pun belajar Madzhab Zhahiriah, dimana gurunya Dawud al-Ashfahani -murid Imam Asy-Syafi’i- menyeru untuk berpegang teguh kepada nash saja.
Ibnu Hazm merasa menjadi jelas dengan madzhab itu, karena madzhab ini memberikan kebebasan berpikir, tidak terikat kepada salah satu madzhab yang terkenal, tetapi hanya terikat kepada nash-nash dan atsar.
Diantara gurunya, yang dari mereka dia belajar fikih Zhahiri adalah seorang Ulama yang zuhud yaitu Mas’ud bin Sulaiman bin Muflit.
Setelah itu Ibnu Hazm pergi ke majlis para Ulama di Palencia, dia mendebat mereka dengan perdebatan yang baik dan berkata kepada mereka, “Aku mengikuti kebenaran, berijtihad dan tidak terikat kepada satu madzhab.”
Perpindahan Ibnu Hazm dari Cordova ke Maria, kemudian ke Palencia, kemudian ke Qairawan, kemudian ke Syathibah dan kota-kota Maroko lainnya, juga pergaulannya dengan para Ulama dan yang lainnya dari para ulama yang memiliki banyak buku, telah memberikan pengaruh yang kuat di dalam pembentukan kepribadian rasionalisnya, yang membuat orang kagum dan namanya pun tercatat di sepanjang sejarah.
PERDEBATANNYA DENGAN PENSYARAH KITAB AL-MUWATHA
Ibnu Hazm hidup dan berkembang dalam rumah yang terhormat, berharta dan mempunyai kedudukan yang baik. Dia selalu merasa bangga dengan rumahnya, dia juga bangga bahwa dia mencari ilmu bukan untuk mencari harta atau kedudukan, tetapi dengan ilmu dia mencari cahaya dan mencari hakekat.
Dalam hal ini, Ibnu Hazm berdebat dengan Abu Walid Al-Baji, pensyarah kitab al-Muwatha, karangan Imam Malik bin Anas Radhiyallahu Anhu.
Al-Baji berkata, “Aku lebih mulia daripada kamu dalam semangat mencari ilmu, karena kamu mencarinya dengan mudah, kamu tidur malam dengan menggunakan lampu dari emas, sedangkan aku mencarinya dan aku tidur malam dengan menggunakan lampu yang murah, yang ada di pasar!.”
Ibnu Hazm berkata kepadanya, “Ucapan ini untukmu bukan untukku, karena kamu mencari ilmu dalam keadaan seperti ini dan mengharap ada perubahan seperti keadaanku. Sedangkan aku mencarinya dalam keadaan yang telah engkau sebutkan tadi, tetapi aku tidak mengharapkan darinya, kecuali ketinggian kedudukan ilmiah di dunia dan akhirat.”
KEMBALI KE CORDOVA
Pada saat terjadinya kekacauan di Cordova pada tahun tiga ratus sembilan puluh sembilan Hijriah, pada saat keadaan keluarganya juga kacau dan tidak menetap di satu tempat, tentang hal ini Ibnu Hazm menceritakan keadaannya. Dia berkata:
“Sesungguhnya pikiranku terbalik, perasaanku kacau pada saat kami harus jauh dari rumah, mengungsi dari tempat tinggal kami, pada saat waktu berubah, bencana pada pemerintahan, persaudaraan menjadi berubah, keadaan rusak, dan hari terus berganti. Penghasilan Bapak dan kakek terputus, merasa asing di Negeri sendiri, kehilangan harta, kedudukan dan pemikiran dalam memperbaiki keluarga dan anak, juga menunggu takdir. Allah tidak menciptakan kita, kecuali kita mengeluhkannya kepada Allah, mengembalikannya kepada yang lebih baik dari yang kita biasa rasakan, apa yang ada lebih banyak daripada yang diambil, apa yang ditinggalkan lebih mulia daripada yang hilang. Pemberian-pemberian Allah mengelilingi kita, yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak kita syukuri. Semuanya adalah pemberian-Nya, kita tidak mempunyai keputusan, kita dari-Nya dan tempat kembali kita juga adalah Dia. Setiap harta yang dipinjam akan kembali kepada yang meminjamkannya. Allah-lah pemilik segala puji di awal dan akhirnya.”
Ibnu Hazm selalu merindukan untuk kembali ke Cordova, ke tampat dimana dia dididik disaat masa kecil dan remaja...dan itu baru tercapai setelah enam tahun Cordova jauh darinya, dia kembali pada tahun empat ratus sembilan Hijriah.
Ibnu Hazm lebih mendahulukan suasana yang sangat tenang, mengorbankan diri sepenuhnya hanya untuk ilmu, seperti orang-orang zuhud dan para ahli ibadah. Meninggalkan politik dan jabatan kementrian yang dulu telah menarik dirinya. Dia diasingkan, ditawan, dan dipenjarakan karenanya.
Ibnu Hazm kembali kepada ilmu, tempat dia kembali yang selalu dia inginkan pada saat-saat mengalami kesulitan. Dia berpaling kepada ilmu seperti pada saat pertama kali, kembali mengajar, mencari, menggali, menulis, menghapal hadits-hadits Nabi, mempelajari fikih, berdebat dan mempertahankan Islam dari isu yang dilontarkan oleh kaum Yahudi, Nasrani dan selain keduanya. Dia menyebarkan pendapat-pendapatnya, yang terkadang dilaluinya dengan cara berdebat langsung, atau melalui pena dan kertas jika ada kesempatan, atau melalui surat yang dia kirim, atau melalui buku-buku ringkas yang dia tulis.
BENCANA BESAR
Ibnu Hazm terus mengajar dan menyebarkan pendapat-pendapatnya di mana saja dia berada, dan di setiap tempat dimana dia bepergian. Dia berpindah-pindah tempat antara Cordova, Syathibah, Maria, Palencia dan Muyuriqa…melakukan kegiatan belajar dan mengajar. Pendapat dan penjelasan-penjelasannya telah menarik hati anak-anak muda, dia mempunyai pengaruh yang besar dalam cara berpikir mereka.
Ibnu Hazm menemukan banyak pengikut di Muyuriqa, hingga dia mampu memimpin mereka dan menguasai mereka dengan pemikiran-pemikirannya…Tetapi para Fuqaha yang berbeda pendapat dengannya mengajukan protes, mereka membangkitkan perselisihan antara Ibnu Hazm dan penguasa. Dia diberi hukuman mental yang sangat kuat, yaitu dengan dibakarnya buku-buku mereka. Ini adalah cobaan yang paling besar dan yang paling pedih dirasakan oleh Ibnu Hazm.
Kemenangan bukan lagi dengan hujjah dan alasan-alasan logis (Al-Burhan), tetapi dengan yang paling banyak pengikutnya.
Ibnu Hazm keluar dari Muyuriqa dengan membawa ilmu yang terekam di dalam dadanya. Lisan dan hatinya terpatri dengan kuat akan apa yang dia yakini dan dia percayai. Cobaan-cobaan hidup telah dilaluinya, dia juga telah meneguk dua gelas dunia; yang manis dan yang pahit. Dia merasa kalau dia sudah berada pada tingkat yang tidak akan lagi merasakan sakit dan luka!! Dia pun berkata kepada orang yang membakar buku-bukunya:
- “Jika kalian dapat membakar kertas-kertas itu, tetapi sesungguhnya kalian tidak akan dapat membakar apa yang terkandung di dalam kertas itu, karena semuanya terekam di dalam dadaku.”
- “Ia berjalan bersamaku dimana pun kendaraanku berhenti, ia berhenti dimana pun aku berhenti, dan ia akan terkubur di dalam kuburanku.”
Ibnu Hazm terus berjalan di jalurnya, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya, dia berkata:
- “Keinginanku dari dunia ini hanyalah ilmu, yang akan aku sebarkan di setiap kampung dan kota.”
- “Ajakan kepada Al-Qur’an, sunnah Nabi yang sudah dilupakan oleh orang-orang dalam ceramah-ceramahnya.”
SEORANG YANG ALIM DAN FAQIH
Andalusia sudah terasa sempit oleh ilmu Ibnu Hazm, oleh ucapan dan tulisan-tulisannya, atau para Amir sudah merasa sempit untuk dapat mencegahnya. Bumi tidak akan sempit dengan ilmu yang matang, atau dengan ucapan kejujuran, atau dengan tulisan-tulisan yang merekam hakekat. Namun dada-dada para sebagian Ulama dan orang-orang yang membantunya terasa sempit, karena sebagian Ulama ada yang menempatkan diri mereka dalam cakrawala yang sempit. Mereka menyangka bahwa kebenaran tidak akan ada di luar mereka, dan orang yang keluar dari itu berarti bahwa dia keluar dari kebenaran yang tercela oleh mereka, walaupun orang tersebut sudah berhubungan langsung dengan sumber tertinggi syariah Islam.
Sebagian Amir melihat dalam diri Ibnu Hazm ada sesuatu yang ditakutkan; karena dia pernah mempunyai hubungan dengan pemerintahan sebelumnya; karena kedudukan dan martabat keluarganya, dan disamping itu karena dia juga adalah seorang alim, ahli fikih yang berbicara dengan kebenaran, yang dapat menghantam wajah manusia dan tidak membedakan apakah dia seorang Amir atau seorang miskin. Dia berani mengemukakan apa yang dikatakannya kepada masyarakat umum dan para pelajar yang masih kecil. Itu semua membuat Amir merasa ketakutan dan terganggu, maka perlu kiranya peran dan ilmu Ibnu Hazm dipersempit, ilmunya dikunci dalam dadanya dan tidak boleh keluar menular kepada orang lain.
Para Amir masih tetap merasakan kesulitan di dalam menangani masalah Ibnu Hazm, hingga akhirnya dia diungsikan ke daerah terpencil, dimana keluarganya ada sebelum keluar pergi ke Cordova dan menjabat di kementerian.
Ibnu Hazm kembali ke kampung keluarganya yaitu tepatnya di Maintlyshm, di kota Aunph wilayah Liblah. Dia mengorbankan dirinya untuk ilmu, dimana dia menemukan kesenangan padanya setelah berbagai macam kesulitan yang menimpanya. Para murid yang masih kecil -mereka yang tidak takut cercaan- datang kepadanya, menimba ilmu darinya. Ibnu Hazm pun memberikan dan mengajarkan hadits kepada mereka, menjadikan mereka sebagai orang yang faqih, melatih mereka dan membuat hati mereka mencintainya. Mereka mendapatkan sumber (ilmu) yang bersih dan segar dari Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm zuhud dari segala sesuatu, kecuali dari ilmu. Dia tidak pernah meninggalkannya, selalu membiasakan diri untuk menulis dan memperbanyak mengarang buku-buku, sehingga dia dapat memberikan buku-buku yang bermutu dan bernilai tinggi pada generasi sesudahnya.
Jika orang-orang yang mengasingkan Ibnu Hazm, atau orang-orang yang mengharuskan Ibnu Hazm untuk diasingkan ingin memadamkan cahaya ilmu yang selalu memancar dari seluruh tubuhnya, tetapi sebaliknya justru Allah menginginkan kesempurnaan ilmunya, dengan menjadikan banyak orang yang mencari ilmu darinya dan banyak orang yang mau menerimanya. Itulah sekelompok orang yang telah dipilih oleh Allah untuk menghadiri majlis ilmunya. Merekalah yang di kemudian hari menyebarkan ilmunya. Sejarah telah mengakhiri ungkapan-ungkapan Fuqaha yang menentangnya, dan menjadikan namanya bersinar diantara Ulama-ulama kaum muslimin, bahkan bersinar diantara Ulama-ulama dunia.
Walaupun Ibnu Hazm telah diwarisi kekuasaan, harta benda, dan pernah menjabat di kementrian, semua itu telah hilang dengan sendirinya ditelan sejarah. Yang tertinggal hanyalah namanya yang terkenal sebagai seorang “Alim”, menjadi cahaya yang memancar di dalam kegelapan sejarah.
SIFAT-SIFAT DAN BAKATNYA
Bakat atau pembawaan seorang alim adalah faktor utama dalam mencari ilmu, ia adalah kunci yang dengannya dapat membuka pintu pengetahuan, ia adalah tempat mengeluarkan cahaya ilmu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan sifat-sifat yang memungkinkan Ibnu Hazm untuk membuka cahaya pengetahuan yang dapat menyinari sekitarnya. Semua sifat dan bakatnya menjadikan dia sebagai sosok orang yang alim, tulisan-tulisannya membanjiri dunia, buku-bukunya selalu diajarkan dari generasi ke generasi. Dia mempunyai corak warna yang khas dalam pemikiran keislaman, yang membedakannya dari yang lain, dan tidak ada seorang pun yang dapat menyerupainya…Diantara sifat dan bakat-bakatnya itu adalah:
- Hapalan dan Penguasaan Ilmu Yang Kuat
Ibnu Hazm memiliki hapalan dan penguasaan ilmu yang kuat, bakat inilah yang membuatnya dapat menguasai berbagai cabang ilmu. Hapalan yang kuat adalah jalan pertama yang menjadikan seorang alim mampu untuk menguasai alur pemikiran yang dibaca; dapat menghubungkan antara yang di depan dengan yang di belakang, dapat menghubungkan antara yang di atas dengan yang di bawah, dapat menghubungkan antara yang pertama dengan yang terakhir, dapat menggabungkan bagian-bagiannya sehingga menjadi teratur, dan mampu menjelaskan perbedaannya jika tidak dapat digabungkan.
Allah telah memberi kekuatan hapalan dan penghayatan yang dalam kepada Ibnu Hazm. Dia dapat menghapal hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan merapikan sumber-sumbernya, sehingga dia dapat mencapai derajat al-Huffadh. Dia juga banyak tahu tentang atsar para Sahabat dan Tabi’in, yang membuatnya menjadi orang yang lebih tahu tentang fikih mereka. Dia mampu mengeluarkan hukum dan menyimpulkannya dengan metodologi fikihnya. Dia hapal Sirah al-Awwalin (orang yang mendahuluinya) dan menggabungkan ilmu mereka dengan begitu cermat, yang membuatnya menjadi orang yang ahli di bidang ini diantara para Ulama dan Fuqaha yang ada pada saat itu.
Para sejarawan dan orang-orang yang sezaman dengannya sangat kagum dengan kekuatan hapalannya dan banyaknya pengetahuan yang dia kuasai.
- Tangkas (Tanpa Pikir Panjang)
Ibnu Hazm memiliki sifat tangkas (tanpa pikir panjang). Sifat ini sangat membantu dia untuk menghadirkan informasi pada saat dibutuhkan, cepat dalam menjawab pada saat dibutuhkan, membantunya pada saat berdebat, dan membantunya dalam mengalahkan musuh-musuhnya, karena mereka belum mampu mencapai tingkatannya dan belum mampu untuk mencapai tujuannya.
- Cara Berpikir dan Perhatian yang Mendalam
Ibnu Hazm merasa tidak cukup hanya dengan melihat dhahir suatu masalah saja, tetapi dia menyelami hakekatnya, sehingga mengetahui apa yang ada di belakang masalah tersebut. Dia tidak meninggalkan al-Musabbabat (hasil akibat dari sesuatu), hingga dia mengetahui sebab-sebab dan rahasianya. Dia juga merasa tidak cukup hanya dengan mengetahui suatu peristiwa saja, sebelum mengetahui faktor-faktor penyebab peristiwa tersebut. Itu semua terlihat jelas dalam setiap kajiannya yang beraneka ragam.
- Keimanan yang Kuat
Ibnu Hazm sangat beriman dan percaya bahwa Allah Azza wa Jalla-lah yang telah memberikan bakat-bakat pemikirannya, maka dia merasa wajib untuk mensyukurinya, yaitu dengan melaksanakan hak-hak-Nya dan kalau dia tidak melaksanakan hak-Nya atau menguranginya berarti dia telah mengingkari-Nya.
Ibnu Hazm sangat mencela orang-orang yang kurang menggunakan bakat-bakatnya. Dia berkata, “Jika kamu merasa sombong dengan ilmumu, ingatlah bahwa kamu tidak mempunyai pekerti dalam ilmu itu, padahal itu adalah pemberian Allah. Tuhanmu telah memberikannya kepadamu, maka janganlah menerimanya dengan sesuatu yang membuat-Nya marah. Barangkali Allah akan menjadikan kamu lupa dengan alasan Dia sedang mengujimu, kemudian Dia akan menjadikan kamu lupa akan apa yang kamu pelajari dan yang kamu hapalkan.”
Abdul Malik bin Tharif –dia adalah salah seorang ahli ilmu yang pintar, sederhana, dan baik dalam mencari ilmu- memberitahuku bahwa dia mempunyai nasib yang baik dalam menghapal. Setiap apa yang lewat dari telinganya, tidak perlu baginya untuk diulangi dan dia mampu untuk menirukannya. Suatu hari dia berlayar di lautan, rasa takut menghinggapinya sehingga membuat dia lupa akan apa yang telah dihapalnya, membuat kekuatan hapalannya berkurang, dan tidak ada yang dapat menggantikan kecerdasannya lagi!!.
“Sesuatu telah terjadi padaku, yang membuatku sadar. Hilanglah apa yang pernah aku hapal, kecuali hanya sedikit. Aku tidak mampu untuk mengembalikannya lagi, kecuali setelah bertahun-tahun!.”
“Ingatlah bahwa kebanyakan orang yang bersungguh-sunguh mencari ilmu, mereka bersungguh-sungguh dalam membaca, berdedikasi untuk belajar dan mencari ilmu, kemudian mereka tidak akan mendapatkan sesuatu darinya. Ingatlah bahwa orang yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, kalau hanya dengan berdedikasi pada belajar saja, maka dia akan menemukan banyak orang lain yang lebih darinya…betul bahwa itu adalah pemberian dari Allah. Di sini akan hilanglah rasa kekaguman itu. Ini hanyalah salah satu tempat untuk berendah diri, untuk mensyukuri nikmat Allah, untuk selalu meminta tambahan nikmat-Nya, dan untuk selalu meminta perlindungan-Nya.”
- Kesabaran, Kesungguhan dan Keuletan
Ibnu Hazm bersungguh-sungguh dalam mencari dan mendapatkan ilmu, dia mencurahkan segala kemampuannya hanya untuk mendapatkan ilmu. Dia tidak menjadikan dirinya kosong selain untuk ilmu, karena dia menemukan bahwa cara itu adalah jalan untuk mendapatkan ketinggian ilmu, di atas itu semuanya adalah berjuang di jalan Allah. Barangsiapa yang mencari ilmu karena Allah, maka dia akan mendapatkan apa yang dicarinya. Itu adalah cita-cita tertinggi, dengannya seseorang akan mendapatkan ketinggian derajat diantara manusia, maka Allah mengumpulkan untuknya nasib dunia dan akhirat.
Untuk itu, sejak kecil Ibnu Hazm mencurahkan segala kemampuannya hanya untuk mencari ilmu, penjara dan pengasingan pun tidak dapat menghalanginya. Dia mencari keridhaan Allah dan menjadikannya sebagai cita-cita, tidak ada selain-Nya, maka dia pun bersungguh-sungguh dan sabar atas siksaan yang menimpanya dari para penguasa, dari kedengkian para Ulama, dari diasingkannya ke tempat lain, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pada saat buku-bukunya dibakar, itu tidaklah menambahkan sesuatu baginya, kecuali menambah semangat di dalam dirinya untuk mencurahkan segala kemampuannya pada ilmu, membukukan kembali apa yang ada di dalam dadanya. Itu semua disebabkan karena dia menjadikan segala keinginannya adalah ilmu, mendekatkan diri kepada Allah, untuk menjelaskan yang benar dan berbicara tentang sesuatu yang benar. Dia berkata, “Kenikmatan seorang alim adalah karena ilmunya, kenikmatan seorang bijak adalah karena hikmah-hikmahnya, kenikmatan seorang mujtahid di jalan Allah adalah karena ijtihadnya, kenikmatan orang yang makan adalah karena makanannya, kenikmatan orang yang minum adalah karena minumannya, kenikmatan orang yang berusaha adalah karena usahanya, kenikmatan orang yang bermain adalah karena mainannya dan kenikmatan itu melebihi seorang Amir dengan apa yang diperintahkannya.”
Ibnu Hazm telah mendapatkan kenikmatan sebagai orang alim, sebagai orang bijak, dan sebagai orang mujtahid di jalan Allah. Kemudian dia memutuskan bahwa pencariannya untuk ilmu bukan dimaksudkan untuk supaya tinggi martabatnya, tetapi dimaksudkan untuk berijtihad karena Allah, mencari alam akhirat yang kekal, bukan dunia yang fana. Dia berkata, “Setelah ilmu yang tinggi ini bersemayam di dalam jiwaku, terbukalah rahasia yang menakjubkan itu untukku. Allah menyinari pikiranku, inilah harta yang agung, yang selalu aku cari, yang bisa mengantarku kepada ‘hakekat’ dan mengusir segala kegelisahan, itulah yang sangat berharga. Aku tidak menemukannya, kecuali dengan bertawajjuh (menghadapkan diri) kepada Allah dan dengan amal perbuatan untuk akhirat.”
- Keikhlasan
Barangsiapa yang mencari ilmu agama, maka keihkhlasan adalah lebih wajib baginya, juga berorientasi kepada Allah dalam mencarinya adalah lebih agung. Begitulah yang ada pada diri Ibnu Hazm.
Keikhlasannya kepada agama Allah telah mendorongnya untuk mencari ilmu dari sumbernya yang pertama, sehingga dia mengajak manusia kepada apa yang diyakininya. Tidak penting baginya apakah itu menyenangkan orang lain atau tidak, yang diharapkannya hanyalah keridhaan Allah.
Karena keikhlasannya yang tinggi itulah, yang menjauhkannya dari kesombongan pada diri sendiri, dan apa yang telah didapatnya dari ilmu. Ibnu Hazm menganggap bahwa kesombongan adalah bencana bagi keikhlasan, bencana bagi rasionalitas, dan bencana bagi akhlak mulia. Dia mengajak manusia untuk menilai kesalahannya sebelum menilai kebenarannya. Dia berkata, “Jika kamu merasa sombong dengan pendapat-pendapatmu, maka berpikirlah tentang kejatuhan-kejatuhanmu. Pada setiap pendapat yang kamu anggap benar, maka akan keluar darinya kebalikan dari penilaianmu. Orang lain adalah benar dan kamulah yang salah. Jika kamu melakukan itu, maka bawalah kondisimu untuk menimbang-nimbang kesalahan dan kebenaran pendapatmu, maka dia akan keluar bukan untukmu dan tidak akan menimpamu juga. Yang sering terjadi adalah bahwa kesalahanmu lebih banyak daripada kebenaranmu, begitulah yang terjadi pada setiap manusia setelah para Nabi.”
Ibnu Hazm menganggap bahwa keikhlasan adalah simbol orang-orang bijak yang berpegang teguh pada kemuliaan dan yang mencari hakekat segala sesuatu. Dia menyimpulkan bahwa manusia awam tidak akan berserah diri, kecuali jika mereka ikhlas. Keikhlasan mereka akan terlihat dan dapat diketahui dengan cara keselamatan di salah satu sisi dari mereka. Untuk itu Ibnu Hazm berkata, “Bersungguh-sungguhlah agar kamu dianggap sebagai orang yang selamat pada salah satu sisinya. Jauhilah untuk dianggap licik, maka akan banyak orang yang menjaga jarak denganmu, yang mungkin dapat merugikanmu, atau bahkan dapat membunuhmu!!.”
Begitulah, kita menemukan seorang alim yang berpengalaman, yang ikhlas dalam mencari kebenaran, ikhlas terhadap agama Allah dan ikhlas untuk manusia, tidak munafik, tidak menipu dan dia berpendapat bahwa keikhlasan akan membawa kepada kebenaran, kepada kepercayaan dan ketenangan manusia, kepada keselamatan dan Allah akan selalu membantu orang-orang yang ikhlas.
Keikhlasan adalah cahaya kebijakan, jalan menuju hidayah Allah. Seseorang tidak akan mendapat hidayah Allah, kecuali orang yang hatinya telah diterangi keikhlasan oleh Allah.
- Mencintai Manusia
Ibnu Hazm menyeru kepada keselamatan manusia dan berlaku lemah lembut kepada mereka, jangan menentang mereka dalam hal yang tidak membahayakan agama atau dunia. Pergaulan Ibnu Hazm dengan para Ulama yang sezaman, juga surat menyurat yang terjadi antara dirinya dengan mereka mengaliri rasa suka, kecintaan, persaudaraan dan keramahtamahan. Hal itu menunjukkan bahwa Ibnu Hazm adalah sosok yang baik kepada manusia, penyayang, dan bergaul dengan penuh rasa cinta kepada mereka. Dia berkata, “Jauhilah olehmu menentang orang yang sedang duduk, menentang orang-orang yang sezaman denganmu dalam hal yang tidak membahayakan duniamu juga akhiratmu walaupun sedikit atau kecil, kamu mengakhiri pergaulan dengan rasa sakit, rasa benci dan permusuhan kepada mereka. Barangkali hal itu bisa menjadikan bahaya yang lebih besar tanpa ada manfaat sedikitpun bagimu. Kalau tidak ada alasan untuk marah kepada manusia, atau marah kepada Allah, dan kamu tidak memiliki pilihan untuk membenci manusia, atau membenci Sang Pencipta, maka marahlah pada manusia dan bencilah mereka, tetapi janganlah kamu marah kepada Tuhanmu dan janganlah membenci kebenaran.”
- Jujur dalam Berperasaan dan Emosi yang kuat
Allah telah memberikan kejujuran dalam berperasaan dan emosi yang kuat kepada Ibnu Hazm. Keduanya –tanpa diragukan- adalah sebab dari perasaan seninya yang tinggi dalam prosa dan syair.
Ibnu Hazm mempunyai perasaan yang kuat dan emosi yang besar. Jika kekuatan emosi ada bersama akal rasional yang peka dan akhlak yang mulia, tentu akan menghasilkan kejujuran dalam berpikir, pengetahuan-pengetahuan yang menyerupai sebuah ilham. Perasaan bersama antara dirinya dengan manusia menjadikannya tahu hakekat jiwa-jiwa mereka, dengan begitu dia mempunyai firasat yang kuat, mengetahui lubuk hati seseorang dengan cepat, dan mempunyai perasaan yang kuat dan mendalam.
- Kesetiaan
Selain sifat-sifat kejiwaan yang menajamkan pengetahuannya, Ibnu Hazm juga memiliki sifat-sifat moral yang mengangkat dirinya dan menjadikannya berorientasi kepada masalah-masalah yang tinggi.
Diantara sifat-sifat moralnya yang paling menonjol adalah sifat setia…Kesetiaan adalah isensi jiwanya. Dia sangat setia kepada sahabat-sahabatnya, guru-gurunya dan kepada setiap orang yang bergaul dengannya, bahkan dia setia pada benda-benda!!. Suatu hari dia bertanya kepada orang-orang yang pergi menuju Cordova dan menanyakan apa yang telah terjadi. Dia berkata, “Aku tidak mengatakannya agar dipuji, tetapi aku melaksanakan adab santun Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut (dengan bersyukur).”
Allah telah memberiku kesetiaan terhadap setiap orang yang baru pertama kali bertemu denganku. Allah memberiku kesetiaan untuk menjaga orang yang merasa malu dariku, walau dengan berbicara satu jam dan kepada-Nya aku berterima kasih, kepada-Nya aku menyandarkan diri dan meminta lebih. Tidak ada yang paling berat bagiku dari meminta maaf di sepanjang umurku. Aku tidak akan mengizinkan jiwaku mempunyai pikiran untuk berbuat jahat kepada orang yang antara diriku dan dirinya ada hak walaupun sedikit dan walaupun dosanya banyak kepadaku. Yang menimpaku seperti itu tidaklah sedikit. Aku tidak pernah membalas kejahatan, kecuali aku balas dengan kebaikan. Aku memuji Allah atas itu sebanyak-banyaknya.”
- Memiliki Rasa Harga Diri Dengan Tidak Sombong
Disamping sifat setianya, Allah juga memberi Ibnu Hazm rasa harga diri. Dia tidak akan merendahkan harga dirinya, karena harga diri menurutnya adalah bagian dari mineralnya. Terkadang dia membanggakan dirinya sendiri, karena dia tumbuh dengan terhormat diantara kaumnya. Segala peristiwa yang menimpanya membuat dirinya bertambah mengkilap dan bersinar. Dia tidak pernah lemah. Dia terima apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menyakitinya, baik dengan dipenjara maupun dengan diasingkan, tetapi mereka tidak akan pernah menyentuh dirinya yang mulia, yang kuat, yang bersandar kepada Allah baik pada waktu senang maupun pada waktu sengsara. Dia telah merasakan kehidupan yang manis dan pahit. Kenikmatan hidup tidak menjadikannya terhina dan tidak menghilangkan kehormatannya. Begitu juga kesengsaraan hidup tidak membuatnya jatuh kepada kenistaan, tetapi dia terhormat dalam keadaan suka maupun duka.
Itulah sifat-sifat, akhlak serta bakat-bakat Ibnu Hazm. Semuanya mengarah dengan lurus kepada ilmu, yang menjadikan pemiliknya sebagai sosok orang alim yang agung. Jika sifat-sifat di atas menemukan sosok pengarah yang saleh, menemukan iklim keilmuan yang membuatnya dapat tumbuh hidup dan dewasa, tentu akan menghasilkan buah yang paling baik. Itu semua ada pada diri Ibnu Hazm.
ILMUNYA DAN PUJIAN PARA ULAMA KEPADANYA
Sebelum muncul Ibnu Hazm, sejarah belum mengenal sosok orang alim yang menggabungkan berbagai ilmu seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Hazm. Dia adalah seorang penulis juga sastrawan, ilmu filsafat serta logikanya juga mendalam dan berani. Ibnu Hazm menyalahkan Aristoteles dalam logikanya dan dia pun mempunyai metodologi sendiri dalam logika yang berbeda dengan metodologi Aristoteles.
Dia menelusuri sejarah lalu menuliskannya kembali dengan meneliti kebenarannya, dengan begitu Ibnu Hazm menjadi seorang sejarawan yang sangat dalam analisanya, yang menulis dengan sangat teliti bagian-bagian dari sejarah dan asal-usulnya. Sehingga dia menjadi sosok orang alim dan peneliti yang komprehensif.
Disamping semua penjelasan yang di atas, Ibnu Hazm juga adalah seorang ahli hadits. Para Ulama telah mencatat keagungan hapalan dan penguasaanya dalam berita-berita tentang para Rijal al-Hadits dan keadaan mereka.
Ibnu Hazm juga adalah seorang ahli fikih yang menghidupkan ilmu dhahir, atau dengan ungkapan yang lebih jelas, dia telah menghidupkan ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dia menjelaskan sifat umum dan keuniversalan Al-Qur’an, yang mencakup seluruh hukum dari peritiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia, walaupun waktu berubah-rubah. Dia adalah seorang penulis Ensiklopedia Fikih yang terkenal dalam khazanah fikih bermadzhab Zhahiriyah, yaitu kitab “Al-Mahalli” dan karangan-karangan lainnya.
Disamping itu, dia juga adalah seorang ahli dalam sejarah agama dan sekte-sekte di luar agama Islam, ahli dalam masalah kelompok-kelompok Islam, ahli dalam keharusan menjawab tuduhan orang-orang non muslim, ahli dalam masalah perbedaan-perbedaan antara kelompok Islam dengan sangat teliti, dimana dia mendiskusikannya dengan cara yang lugas dan bebas, tidak berdiri di balik seseorang. Dia tidak pernah berpaling kepada pendapat Ulama siapapun, setinggi apapun tingkatan Ulama itu jika bertentangan dengan dhahir Al-Qur’an dan Sunnah. Dia tidak pernah punya pendapat yang keluar dari jalur Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan begitu dia ingin menjelaskan kepada manusia bahwa dia tidak bermaksud mengajarkan ilmu akidah, kecuali yang jelas.
Ibnu Hazm juga mendiskusikan pemikiran para filosof, membatalkan argumentasi mereka, menjelaskan kesalahan keyakinan mereka dengan dalil-dalil yang rasional dari dalil yang digunakan oleh mereka.
Begitulah, tidak ada satu bab pun dari bab-bab tentang ilmu keislaman, kecuali Ibnu Hazm telah menyelaminya. Dia mengetahui tentang tujuan-tujuannya dan mengetahui kandungannya, maka dia pun menerima kebenaran yang diyakininya dan dia akan menolak dengan keras terhadap sesuatu yang dianggapnya salah. Dia mengembalikan al-Musabbab (hasil akibat sesuatu) kepada sebabnya dan hasil/kesimpulan dikembalikan kepada premissenya dengan ungkapan bahasa yang jelas.
Tidak ada seorangpun yang sezaman dengannya yang mengingkari keilmuan Ibnu Hazm, baik dari Ulama yang menentangnya maupun yang berpihak kepadanya. Semuanya sepakat akan keluasan ilmunya dan banyak yang dihasilkannya.
- Sha’ida Al-Andalusi dalam sejarahnya berkata, “Penduduk Andalusia sepakat bahwa Ibnu Hazm adalah sumber ilmu-ilmu keislaman dan yang paling luas pengetahuannya. Disamping itu dia menguasai ilmu-ilmu bahasa, balaghah, syair, sirah dan sejarah dengan sangat luas…Putranya Fadhl memberitahuku bahwa dia mengumpulkan tulisan-tulisan tangan bapaknya sebanyak empat ratus jilid.”
- Dzahabi berkata, ”Padanya berakhir kepintaran dan kejelian berpikir. Ilmunya sangat luas tentang Al-Qur’an, Sunnah Nabi, madzhab-madzhab fikih…agama-agama dan sekte, bahasa Arab, sastra, logika dan syair dengan kejujuran dan keagamaannya, kekayaan dan bukunya banyak.”
- Imam Ghazali berkata, “Aku menemukan sebuah buku tentang “Asma Allah” karangan Muhammad bin Hazm, sebagai bukti akan keagungannya dalam menghapal dan alur pemikirannya.”
- Abdul Wahid Al-Marakisyi mengatakan dalam kitabnya “Al-Mu’jab”, “Dia (Ibnu Hazm) memiliki banyak karangan yang berharga dan bertujuan mulia di bidang Ushul-fikih dan cabang-cabangnya. Telah sampai berita kepadaku dari para Ulama Andalusia bahwa karangan-karangannya tentang fikih, Hadits, ushul, sejarah agama dan sekte, juga yang lainnya dari sejarah, nasab, sastra dan bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menentangnya, sebanyak empat ratus jilid, yang terdiri kurang lebih delapan puluh ribu lembar. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah kita temui di dalam sejarah Islam sebelumnya, kecuali pada Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dia adalah muslim yang paling banyak karangannya.”
WAFATNYA AMIR ULAMA ANDALUSIA
Ibnu Hazm menjadi sosok orang yang benar-benar alim di Andalusia. Jika namanya disebutkan, maka nama Andalusia juga akan ikut disebut. Jika Andalusia disebut, maka nama Ibnu Hazm akan disebut mendahului Ulama-ulama lainnya.
Zaman Ibnu Hazm adalah zaman keemasan dalam bidang keilmuan di Andalusia. Para Amir (Gubernur) adalah juga para Ulama. Jika seorang Amir bukanlah sosok orang yang alim, dia akan berusaha untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat ilmu. Dia akan memenuhi rumahnya dengan buku-buku, menjadikan buku sebagai hiasan istananya, dan menjadikannya sebagai suatu kebanggaan.
Sebelum zamannya Ibnu Hazm, ilmu Timur bertemu dengan ilmu Barat. Para Ulama berdatangan ke Andalusia dan buku-buku karangan mereka lebih dahulu datang ke Andalusia daripada diri mereka sendiri. Ulama-ulama Andalusia pergi ke Timur hanya untuk menambah bekal ilmu mereka dan meneguk pengetahuannya.
Amir Ulama Ibnu Hazm hidup bukan hanya untuk berjuang melawan hawa nafsu, melawan permainan dunia, melawan kedhaliman dan kebodohan. Sebelum dia meninggalkan kehidupannya, dia tinggal di pedesaan. Dia menang atas dirinya, atas kedhaliman dan kebodohan.
Ketika usianya sudah tua dan ajalnya sudah mendekat, dia mengatakan dan mengecam dirinya sendiri:
- “Seakan kamu dengan para pengunjungku telah saling bernadzar. Dikatakan kepada mereka, “Ali bin Ahmad telah binasa.”
- “Wahai Yang di sana! Pemilik hati yang bersedih, Yang sedang tertawa, berapa banyak air mataku yang berjatuhan dan pipi yang membekas.”
- “Semoga Allah memaafkanku pada hari dimana aku pergi dengan meninggalkan keluarga, pergi ke dalam perut liang lahat.”
- “Aku meninggalkan kebahagiaan yang sudah kurasakan. Aku akan bertemu dengan Yang selalu memikatku di sepanjang hidupku.”
- “Itulah tempat istirahatku jika bekalku diterima. Alangkah letih dan lelahnya aku, jika aku tidak memiliki bekal.”
Kepribadian yang selalu berjuang dan bermujahadah segera akan tenang dan rela.
Pelita, yang kalau badai menerpanya, yang kalau topan berderu di sekitarnya, ia akan bertambah menyala dan bersinar, segera akan padam dan mati.
Ruh yang kuat dan selalu menang, segera akan menyerah dan pergi ke dunia lain.
Amir Ulama Andalusia Radhiyallahu Anhu pun pergi dari alam kehidupan ini pada tanggal dua puluh delapan di bulan Sya’ban tahun empat ratus lima puluh enam Hijriah, dengan meninggalkan warisan ilmu yang banyak.
Tidaklah aneh jika seorang Raja Andalusia ketika melewati kuburannya dan berdiri di hadapannya setelah seratus tahun dia wafat mengatakan, “Semua Ulama mempunyai hubungan dengan Ibnu Hazm.”


Tidak ada komentar:

Bagi para pengunjung, jangan cuma lihat n copy paste ja. tapi kami sangat berharap jikalau anda berkenan untuk memberi 'COMMENT', atas perhatiannya kami ucapkan beribu-ribu terimakasih.