Selasa, 25 Agustus 2009

IMAM AHMAD IBNU HANBAL

Mukaddimah
Imam Ahmad bin Hambal adalah Imam terakhir (keempat) diantara para Imam madzhab empat yang terkenal. Di sepanjang sejarah, tidak akan ditemukan para Imam seperti mereka, yang memiliki berbagai keahlian. Madzhab Imam kita yaitu Imam Ahmad bin Hambal adalah madzhab terakhir diantara madzhab-madzhab ini.
Sebelumnya, telah ada tiga madzhab yang banyak dianut oleh kaum muslimin. Madzhab pertama adalah madzhab Imam Abu Hanifah An-Nu’man, kedua madzhab Imam Malik bin Anas dan ketiga adalah madzhab Imam Muhammad bin Idris Asy-Asy-Syafi’i. “Apakah Imam Ahmad bin Hambal banyak mengambil pelajaran dari ilmu dan ijtihad mereka, sehingga dia dapat melampaui kemampuan mereka dan menjadi Imam keempat dengan perjalan hidup dan karya-karyanya yang agung?” Ya, Imam Ahmad telah banyak mengambil pelajaran dari madzhab-madzhab sebelumnya, bahkan dia mampu untuk mengungguli mereka.
Imam Abu Hanifah sudah tiada, Imam Ahmad tidak lagi dapat menemukannya, namun dia sudah meninggalkan dua orang muridnya yang agung, yang menyebarkan ajaran Abu Hanifah setelah wafatnya. Kedua orang murid Abu Hanifah itu adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, keduanya hidup pada masa Imam Ahmad. Maka Imam Ahmad pun belajar dari Abu Yusuf, yang mempunyai kajian ilmu di Masjid Besar kota Baghdad dan ternyata Imam Ahmad dapat melebihi ilmu yang dimiliki Abu Yusuf. Imam Ahmad dikenal sangat berani dalam menegakkan kebenaran, cepat menangkap dan menguasai madzhab Hanafi. Walaupun Abu Hanifah termasuk salah seorang Ahlu Ra’yi (yang banyak menggunakan nalar), tetapi Imam Ahmad tidak mengamalkan dalam fikihnya. Abu Yusuf juga mempunyai peran dalam pembentukan perasaan keagamaan dan sosial Imam Ahmad.
Ketika menginjak usia dua puluh tahun dan pada awal kehidupannya, Imam Ahmad pergi ke kota Madinah. Di kota ini dia bertemu dengan Imam Malik dan mengikuti pelajarannya, sehingga dia banyak mendapat pengaruh dari Imam Malik.
Sedangkan dengan Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad telah bertemu dengannya sewaktu di Baghdad dan lebih lama lagi ketika di Makkah. Imam Ahmad telah menjadikan Imam Asy-Syafi’i sebagai seorang Imam, seorang guru, juga sebagai orangtua bagi dirinya. Imam Ahmad banyak mendapat mengaruh darinya, untuk itu kami telah memperinci penjelasannya dalam satu pembahasan khusus di dalam buku ini. Di sini perlu untuk menyebutkan pengakuan gurunya yaitu Imam Asy-Syafi’i tentang sosok Imam Ahmad bin Hambal, “Aku telah meninggalkan kota Baghdad, tidak ada yang lebih faqih dan yang lebih banyak ilmunya daripada Imam Ahmad bin Hambal”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi Taufik-Nya kepada Imam Ahmad dengan sifat-sifat yang diagungkan dan yang dituntut oleh Islam, seperti sifat zuhud, sifat wara’, berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menolak kedudukan, sifat rendah diri, ketakwaan, takut kepada Allah, sifat ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan banyak berdoa serta bermunajat.
Asak dan nasabnya
Kakek Imam Ahmad bernama Hambal bin Hilal, seorang Gubernur di kota Sarkhas, salah satu kota di Negeri Khurasan. Kakeknya ini termasuk orang yang sangat ikhlas di dalam melaksanakan tugasnya. Khalifah berusaha untuk dekat dengannya dan diangkatlah salah seorang putranya bernama Muhammad yaitu ayah dari Imam Ahmad, sebagai seorang panglima perang. Pada saat Muhammad hendak menikah, ayahnya memilihkan untuknya putri Abdul Malik bin Suwadah dari Kabilah Syaiban, dari kota Basrah. Kabilah Syaiban ini terkenal dengan kemuliaannya, keberaniannya, dan keilmuannya.
Abdul Malik ini merupakan salah seorang pemuka Kabilah Syaiban, yang terkenal sebagai seorang yang pemurah dan mulia. Dia telah membukakan pintu rumahnya untuk para tamu, atau orang-orang asing, dari Kabilah-kabilah yang datang. Maka Imam Ahmad adalah asli dari keturunan Arab yang mulia.
Panggilannya adalah Abu Abdullah. Namanya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahli bin Rabi’ah bin Nizar.
Nasabnya bertemu dengan Sayyiduna Ismail bin Ibrahim Alaihimassalam, dan nasabnya juga bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pada Nizar, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari keturunan Mudhar bin Nizar, setiap orang Quraisy adalah keturunan dari Mudhar.
Muhammad bin Hambal menikah dengan putri dari Abdul Malik bin Sawadah, lalu dari keduanya terlahir seorang putra bernama Ahmad pada tahun 164 Hijriah di kota Baghdad.
Usia Muhammad bin Hambal tidaklah panjang, dia wafat ketika masih muda yaitu setelah kelahiran Ahmad. Usianya saat itu belum sampai tiga puluh tahun. Dia meninggalkan putranya Ahmad kepada ibunya, setelah itu ibunyalah yang membesarkannya, yang mendidiknya dan yang menjaganya.

Kehidupan dan pekerjaannya
Ayahnya telah meninggalkan sebuah rumah yang ditempati oleh dirinya dan ibunya, selain itu meninggalkan juga sebuah bangunan yang disewakan dengan penyewaan yang murah, yang tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, yaitu sebesar tujuh belas Dirham di setiap bulannya.
Kehidupan Imam Ahmad yang seadanya, telah memaksanya untuk bekerja agar dia mendapatkan uang. Dia pun mencari sisa-sisa tanaman yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Imam Ahmad selalu menasehati teman-temannya yang miskin, “Janganlah salah satu dari kalian memasuki kebun seseorang, kecuali dengan izin pemiliknya”.
Terkadang dia juga menjadi penulis untuk mendapatkan imbalan.
Ibnu Jahm berkata, “Kami mempunyai seorang tetangga. Suatu hari dia memperlihatkan sebuah buku kepada kami seraya berkata, “Tahukah kalian tulisan siapa ini?.”
Kami menjawab, “Ini adalah tulisan Imam Ahmad bin Hambal, bagaimana dia bisa menulis itu?.”
Tetangga itu berkata, “Saat aku di Mahlah, aku tinggal di rumah Sufyan bin Uyainah. Aku kehilangan Imam Ahmad bin Hambal untuk beberapa hari, kemudian aku pun datang menanyakan tentang keberadaannya, hingga sampai di depan pintu rumahnya yang tertutup. Aku tanyakan, “Bagaimana keadaanmu?.”
Dia menjawab, “Pakaianku dicuri.”
Aku katakan, “Aku memiliki beberapa Dinar, jika kamu mau, ambillah! Dan jika kamu mau, aku akan meminjamkannya kepadamu?.” Dia pun menolak.
Aku katakan, “Maukah kamu menuliskan sesuatu untukku dengan imbalan.”
“Ya,” jawabnya.
Maka aku keluarkan beberapa Dinar.
Lalu dia berkata kepadaku, “Belilah untukku pakaian, dan potong menjadi dua bagian (yaitu untuk dijadikan sarung dan rida), dan bawalah untukku kertas.” Akhirnya dia pun menuliskan buku ini untukku.
Ibnu Khuzaimah berkata, “Kami bersama Abu Abdillah di sekolah. Para perempuan datang mencari seorang guru, “Kirimlah kepada kami Imam Ahmad bin Hambal agar bisa menjawab buku-buku mereka”. Dia menerimanya dengan imbalan yang sangat sedikit. Jika dia menemui kaum perempuan, dia tidak pernah mengangkat matanya dan tidak pernah melihat seorang pun dari mereka.
Jika jalan hidup telah menghimpitnya, ketika Imam Ahmad tidak lagi mendapatkan harta dan pekerjaan, Imam Ahmad terpaksa meminjam uang dari seorang Ahli Taqwa yang terkenal mengumpulkan hartanya dari yang halal.
Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Imam Ahmad meminjam uang dari beberapa orang saleh, kemudian dia datang untuk mengembalikan uang tersebut. Orang itu berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Abu Abdullah! Aku telah membayarkannya untukmu dan aku tidak berniat untuk mengambilnya darimu, maka jagalah harta itu untukmu.”
Imam Ahmad menjawab, “Aku tidak meminjam uang itu, kecuali aku berniat untuk mengembalikannya kepadamu. Ambillah hartamu itu dan bersyukurlah kepada Allah, itu adalah untuk (kebaikan)mu.”

Imam Ahmad bin Hanbal mencari ilmu
Untuk pertama kalinya Imam Ahmad bin Hambal mencari ilmu di Masjid-masjid kota Baghdad. Setelah dia menghapal Al-Qur’an dan banyak hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, diapun belajar membaca dan menulis.
Dari Baghdad, dia pergi dengan berjalan kaki ke kota Thartus di bagian atas Negeri Syam. Kemudian dia pergi lagi dengan berjalan kaki ke Son’a di Yaman. Imam Ahmad bertemu dengan Abdurraziq bin Hamam, seorang ahli hadits dari Yaman yang sedang duduk di Masjid. Imam Ahmad pun ikut duduk di depannya dan ketika itu terlihat oleh Yahya bin Ma’in yang mengenalinya. Yahya berkata kepada Abdurraziq, “Ini adalah Ahmad bin Hambal saudaramu.”
Abdurraziq berkata, “Semoga Allah menghidupkannya dan menguatkannya. Sesungguhnya telah sampai semua berita yang baik tentangnya.”
Abdurraziq mendiktekan tujuh puluh hadits kepada orang yang hadir lalu berkata, “Hadits-hadits ini adalah ucapan selamat dariku kepada Ahmad bin Hambal. Kalau bukan karena dia, aku tidak akan bisa memberikan hadits kepada kalian.”
Imam Ahmad tinggal di kota Son’a selama dua tahun dan setelah itu kembali pulang ke Makkah.
Imam Ahmad Radhiyallahu Anhu berpindah-pindah pergi ke Kota Kufah, Basrah, Madinah, dan Makkah. Kemudian dia pergi ke setiap Negeri yang terdapat Ulama, yang bisa diambil ilmunya.
Imam Ahmad sangat antusias sekali dalam menerima ilmu. Dia tidak pernah disibukkan dengan pekerjaan hanya untuk mencari rezeki atau menikah, hingga dia mencapai apa yang diinginkannya, dan Allah Memberikan kepadanya apa yang dimintanya. Terkumpul padanya ilmu orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang sekarang dari setiap golongan. Dia pun memberikan apa yang dia kehendaki dan menahan apa yang dia kehendaki.
Imam Ahmad Rahimahullah telah menghapal beribu-ribu hadits, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Zar’ah. Seseorang bertanya kepada Abu Zar’ah, “Wahai Abu Zar’ah, apa yang kamu ketahui tentang Imam Ahmad bin Hambal yang telah menghapal beribu-ribu hadits?.” Abu Zar’ah menjawab, ”Aku telah mengingat-ngingatnya dan mengambil darinya beberapa bab.”
Seseorang bertanya kepada Abu Zar’ah, “Siapakah yang lebih hapal, apakah Anda atau Ahmad bin Hambal?.”
“Ahmad bin Hambal”, jawab Abu Zar’ah.
Ini adalah sebuah persaksian dari Abu Zar’ah, seorang Ulama besar.
Imam Ahmad tidak terputus dalam pencarian ilmunya, dia sangat memperhatikan hadits Nabi dan periwayatannya.
Seseorang melihat Imam Ahmad membawa tempat tinta, dia bertanya, “Wahai Abu Abdullah, Anda telah mencapai usia seperti ini dan masih membawa tempat tinta?.”
Imam Ahmad menjawab, “Dari mahbarah (tempat tinta) ke maqbarah (kuburan).”
Banyak sekali perjalanan Imam Ahmad dalam perjuangannya mencari hadits. Sebuah kabar sampai kepadanya tentang seseorang yang berada di Negeri sangat jauh, yang telah meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Orang ini sangat hafal ucapannya dan menyampaikan kepada siapa saja yang menghendakinya.
Imam Ahmad bin Hambal pergi menemui orang itu, dia menemukannya sedang memberi makan seekor anjing. Imam Ahmad mengucapkan salam kepadanya, dia pun membalas salam dan kembali sibuk memberi makan anjingnya, tanpa menoleh sedikit pun kepada Imam Ahmad.
Setelah selesai memberi makan anjingnya, dia menoleh kepada Imam Ahmad dan berkata, “Barangkali Anda mempertanyakan kepada diri Anda kenapa aku mengurus anjing ini.”
“Ya,” jawab Imam Ahmad.
Orang itu berkata, ”Berkata kepadaku Abu Ziyad dari A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memutuskan harapan orang yang mengharapkannya, maka Allah akan memutuskan harapan orang itu pada hari Kiamat dan dia sekali-kali tidak akan masuk Surga.”
Kemudian orang itu berkata, “Anjing ini telah datang menemuiku, aku takut memutuskan harapannya.”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Cukuplah bagiku hadits ini,” dan dia pun kembali pulang.
Imam Ahmad juga belajar kepada Abdullah bin Mubarak, seorang ahli fikih, yang luas ilmu dan hartanya. Ibnu Mubarak berusaha untuk membantu Imam Ahmad bin Hambal dengan harta, tetapi dia selalu menolaknya dan berkata, “Aku mengikutinya karena kefaqihan dan keilmuannya, bukan karena hartanya.”
Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang yang kagum terhadap Ibnu Mubarak, kagum akan kepribadian, kefaqihan, keilmuan dan tindak-tanduknya di masyarakat.
Abdullah bin Mubarak adalah salah seorang diantara orang-orang yang mempengaruhi Imam Ahmad bin Hambal dalam pembentukan pemikiran, perilaku dan sikap-sikapnya.
Imam Ahmad keluar dari kotanya hanya untuk mencari hadits dan berjihad. Dia pernah pergi ke Tharthus dan tinggal beberapa saat di sana, kemudian kembali lagi ke Baghdad. Imam Ahmad berpendapat bahwa jihad adalah wajib bagi orang yang mampu, baik dengan jiwa, atau harta, atau dengan keduanya.
Disamping mencari hadits, Imam Ahmad juga mencari ilmu-ilmu fikih. Dia mencari fikih para Khulafaur-rasyidin, fikih sahabat lainnya, fikih Tabi’in dan fikih Tabi’ut-tabi’in.
Imam Ahmad terbiasa pergi ke kota Makkah dan Madinah pada musim haji, tidak ada seorangpun yang menarik perhatiannya kecuali Imam Asy-Syafi’i.
Waktu itu Imam Ahmad bin Hambal berusia dua puluh dua tahun dan Imam Asy-Syafi’i lebih tua darinya lima belas tahun.
Imam Ahmad merasakan bahwa Asy-Syafi’i bukan hanya sekedar seorang guru, tetapi dia juga menganggap sebagai orangtua bagi dirinya. Imam Asy-Syafi’i selalu menjaganya di setiap sisi kehidupannya, dia juga selalu menanyakan tentang kehidupan dan jalan kehidupannya.
Imam Asy-Syafi’i memiliki keinginan yang kuat untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, berhasrat untuk menyerupai beliau di dalam semua perkara agama. Tidak ada satupun hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang dihapalnya, kecuali dia mengamalkannya. Untuk itu, dia telah meletakkan Kitabullah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah di hadapannya. Dimana para sahabat pertama menjadikan keduanya sebagai dasar ilmu mereka, mereka jauh dalam menggunakan ra’yu dan Allah pun telah memberi taufik kepadanya, atas segala apa yang telah dipelajarinya.
Imam Ahmad seorang guru
Imam Ahmad bin Hambal tidak pernah duduk di atas kursi untuk mengajarkan ilmunya kepada seseorang, kecuali setelah dia mencapai usia empat puluh tahun. Hal itu dimaksudkan untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dimana beliau memulai kerasulannya pada usia empat puluh tahun.
Kabar tentang Imam Ahmad menyebar di Negeri-negeri kaum muslimin. Banyak orang yang berdatangan dari berbagai Negeri hanya untuk mendengar ilmunya. Mereka membacakan kepadanya dan meriwayatkan hadits, fikih dan tafsir darinya.
Imam Ahmad menyediakan dirinya untuk mengajarkan apa yang diinginkan oleh mereka. Pengajarannya dilakukan di Masjid Baghdad setelah shalat Ashar, yang selalu penuh dengan kekhidmatan dan ketenangan. Dia tidak menyukai bercanda, dan para muridnya pun sudah tahu akan hal itu. Mereka sangat patuh kepadanya, tidak ada seorangpun dari mereka yang berani untuk mengeluarkan perkataannya, walaupun satu kata.
Setelah shalat Ashar, Imam Ahmad bersandar pada dinding Masjid dan orang-orang pun mengelilinginya. Mereka bertanya kepadanya tentang fikih, hadits dan tafsir. Imam Ahmad menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, hingga datang waktu Maghrib dan semuanya bersiap untuk melaksanakan shalat.
Imam Ahmad tidak menjawab pertanyaan mereka, kecuali pertanyaan yang bermanfaat. Suatu hari, seseorang bertanya kepadanya tentang sesuatu dan dia pun menjawabnya, tetapi orang itu mendebatnya pada saat dia menjawab, dia pun enggan untuk menjawab kembali pertanyaan orang itu. Akhirnya orang-orang yang hadir pun tahu bahwa orang itu bertanya tentang sesuatu yang tidak bermanfaat. Imam Ahmad tidak meninggalkan orang itu, tetapi dia berkata, “Majlis kita ini adalah majlis ilmu yang bermanfaat. Jika bukan itu yang kamu inginkan, maka pergilah dan cari majlis yang lain. Jauhkanlah dirimu dari ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat. Manusia itu hanya mempunyai satu lidah dan dua telinga, tujuannya agar manusia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Ucapan yang buruk tidak akan membawa kepada kebaikan.” Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang mendengarkannya, “Jika kalian melihat orang yang senang berbicara, maka hindarilah dia. Janganlah kamu bergaul dengannya. Sesungguhnya orang yang ahli ilmu, mereka membenci untuk berbicara banyak yang tidak bermanfaat.”
Orang-orang pun terbiasa untuk bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal kalau bertemu, dan dia pun menjawab pertanyaan mereka setelah meriwayatkan. Tetapi kebanyakan dia menjawab kepada mereka, “Tidak tahu.”
Periwayatan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyibukannya. Dia ingin konsentrasi menyusun hadits-hadits yang telah dikumpulkannya dalam perjalanan-perjalanannya yang banyak. Hadits-hadits ini diisnadkan (disandarkan) kepada rawi pertamanya dari para sahabat. Setiap sahabat mempunyai musnad (sandaran) yang khusus.
Imam Ahmad pun mulai memikirkan bagaimana mengumpulkan musnadnya, meneliti dan menyeleksi hadits-hadits yang ada padanya, apa yang dihapalnya, dituliskan di atas kertas. Kemudian dari hadits-hadits ini, dia teliti dengan cermat ayat-ayat Al-Qur’annya, sehingga memudahkannya untuk menyimpulkan sebuah hukum.
Imam Ahmad mengumpulkan hadits-haditsnya dalam musnadnya yang terkenal yaitu “Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal” dalam berbagai kitab, dan dia terus melakukan pengumpulan hadits sampai akhir hayatnya.
Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, “Barangsiapa yang mengagungkan ahli hadits, maka dia akan agung dalam pandangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan barangsiapa yang menghinakan mereka, maka dia akan jatuh dalam pandangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena ahli hadits adalah pengikut setia Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam.
Imam Ahmad dikenal sebagai sosok yang sangat berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dan benci akan bid’ah. Terkadang Imam Ahmad ketika berbicara di depan kumpulan orang-orang baik, jika dari mereka ada yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Nabi, biasanya kata-katanya lebih mengarah kepada menasehati mereka.
Imam Ahmad bin Hambal menjadi sosok orang yang paling hapal hadits di Baghdad, tidak ada seorang pun yang lebih dalam pengetahuannya tentang peninggalan sahabat dan fatwa-fatwa mereka daripadanya, disamping pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an. Hingga melekat padanya metode khusus dalam pengambilan hukum-hukum yang berbeda dengan metode dua Imam sebelumnya, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Kebanyakan fatwa-fatwa Imam Ahmad mengikuti gurunya Imam Asy-Syafi’I, sehingga akhirnya dia menjadi seorang Imam.
Imam Ahmad mulai menafsirkan Al-Qur’an, meriwayatkan hadits dan mentafsirkannya, menjelaskan tentang pengambilan hukum dalam madzhabnya kepada orang, dan memberikan fatwa atas apa yang ditanyakan kepadanya dari berbagai masalah.
Dalam majlis-majlis ilmunya, Imam Ahmad selalu mengajarkan bahwa orang yang meriwayatkan hadits shahih dan tidak mengamalkannya, berarti dia adalah orang munafik.
Imam Ahmad juga menjelaskan ilmu Ushul al-Fiqh dan cabang-cabang fikih kepada para muridnya. Dia menjawab beribu-ribu permasalahan yang membuatnya lebih terkenal dan orang-orang pun semakin banyak memenuhi majlis-majlis ilmunya. Mereka menemukan padanya ilmu yang luas, ucapannya enak, pendapat-pendapatnya baik, penyabar dan banyak dari mereka mengikutinya sampai ke rumahnya. Mereka tidak memberikan kepadanya kesempatan untuk beristirahat, atau bekerja yang lain.
Imam Ahmad juga memperhatikan jika dalam majlisnya dia menemukan ada orang yang menulis jawaban-jawabannya tentang fikih, dia melarangnya karena dia tidak suka menulis tentang fikih.
Suatu hari seseorang bertanya, “Kenapa Anda melarang untuk menulis fikih? Ibnu Mubarak yang kami tahu bagaimana dia di mata Anda, dia menulis fikih Ahlu Ra’yi di Irak?.”
Imam Ahmad menjawab, “Ibnu Mubarak tidak turun dari langit, kita telah diperintah untuk mengambil ilmu dari atas…dari Al-Qur’an dan Sunnah.”
Imam Ahmad Radhiyallahu Anhu takut jika fikih dibukukan, maka hukum-hukum Islam akan membeku dan taklid akan menyebar selama beberapa dekade. Fikih itu akan terus berubah dan yang utama adalah mengambilnya dengan menggunakan ijtihad dan menjauhi taklid. Di hadapan kita ada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, atsar (peninggalan) sahabat, itu semua lebih utama untuk dibukukan daripada membukukan fikih.
Setelah shalat Ashar, Imam Ahmad bin Hambal terbiasa memberikan fatwa kepada orang-orang dan para muridnya terhadap apa yang mereka tanyakan di dalam majlis ilmunya. Dia menyibukkan dirinya dan orang yang hadir dalam majlisnya juga menyibukkan diri mereka dengan Al-Qur’an, hadits dan atsar para sahabat, sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf (pendahulu) mereka.
Imam Ahmad mengajarkan kepada mereka bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, atau dia menafsirkannya dengan hadits-hadits shahih dan atsar para sahabat, yang ilmunya mereka ambil langsung dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Pokok materi ilmu dalam majlisnya adalah Al-Qur’an dan tafsirnya, Sunnah juga atsar para Sahabat.
Sekelompok Ulama telah menimba ilmu dari Imam Ahmad, dan merekalah yang kemudian menyebarkan pendapatnya, yaitu agar berpegang teguh dengan apa yang ada dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan apa yang ada dari atsar para tokoh Sahabat dan fatwa-fatwa mereka. Diantara muridnya adalah Imam Ahmad bin Taimiyah Syaikh al-Islam, Ibnu Qayyim al-Jauziah, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dan yang lainnya dari para Ulama, yang ilmu-ilmunya menyebar di Negeri-negeri kaum muslimin.

Karya Imam Ahmad
Imam Ahmad bin Hambal Radhiyallahu Anhu menganggap tidak perlu untuk menulis buku, dan dia melarang agar tidak menuliskan ucapannya dan berbagai masalah yang dijawab olehnya. Seandainya dia tidak berpendapat seperti itu, mungkin karangan-karangannya akan banyak sekali dan akan banyak juga buku yang menukilnya.
Karangan-karangannya yang dinukil
- Musnad, berisikan empat puluh ribu hadits.
Imam Ahmad berkata kepada anaknya, “Jagalah musnad ini, karena ini nanti akan menjadi Imam (petunjuk).”
Disebutkan bahwa musnadnya ini adalah hasil seleksi dari tujuh ratus ribu hadits.
- Tafsir, yaitu beribu-ribu hadits dan atsar yang menafsirkan Al-Qur’an.
- Al-Muqaddam wa al-Mu’akhar fi Al-Qur’an (Pendahuluan dan penutup di dalam Al-Qur’an).
- Jawabat Al-Qur’an (Jawaban-jawaban Al-Qur’an).
- Al-Manasik al-Kabir wa ash-Shagir (Peribadatan yang besar dan kecil).
- Al-Naskh wa al-Mansukh
- Sejarah
- Zuhud
- Ar-Raddu ‘Ala al-Jahmiah (Jawaban atas kelompok al-Jahmiah)
Ibnu Qayyim berkata, “Imam Ahmad –Rahimahullah- sangat benci menulis buku, dia lebih suka menyampaikan hadits, membenci ucapan-ucapannya ditulis, bahkan dia sangat bersikap keras akan hal itu.”
Allah Maha Mengetahui kebaikan niat dan tujuannya, lalu dia menulis ucapan dan fatwa-fatwanya lebih dari tiga ratus sifr (buku). Allah telah memberi banyak dari buku-bukunya itu untuk kita, hanya sedikit saja yang tidak sampai kepada kita.
Al-Khallal telah mengumpulkan teks-teksnya dalam Al-Jami’ al-Kabir sebanyak dua puluh sifr (buku) dan bahkan lebih dari itu.
Fatwa-fatwa Imam Ahmad dan berbagai masalahnya, telah diriwayatkan dari Abad ke Abad dan menjadi pegangan utama para ahli hadits dengan berbagai tingkatannya.

Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i
Imam Ahmad bin Hambal sangat terpengaruh oleh Imam Asy-Syafi’i, seperti seorang murid yang ikhlas, yang terpengaruh oleh gurunya. Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal berkata setelah dia menjadi seorang Imam, “Jika aku ditanya tentang suatu masalah dan tidak menemukan jawabannya dalam hadits Nabi, atau atsar (peninggalan) sahabat, maka aku akan mengambil pendapat Asy-Syafi’i tentang masalah itu.”
Penghormatannya kepada Imam Asy-Syafi’i sampai pada tahap kalau dia enggan untuk menuliskan fikih semua syuyukh (gurunya) dalam satu kitab…kecuali fikih Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad membacakan buku-buku karangan gurunya Abu Yusuf dan buku-buku karangan Muhammad bin Hasan, namun dia enggan untuk menuliskan fikih keduanya…Dia melarang para pengikutnya untuk menuliskan pendapat-pendapatnya, atau fikihnya sendiri…Tetapi ketika datang kepadanya kitab Ar-Risalah yang baru, yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i pada saat di Mesir, dia sangat terpesona dengan Ar-Risalah dan dia pun membacakannya kepada para pengikutnya…menyarankan mereka untuk mempelajarinya dan dia sendiri menyimpannya di dalam lemari buku-bukunya…Begitulah yang dia lakukan terhadap semua buku Imam Asy-Syafi’i yang ditulis di Mesir.
Imam Ahmad pernah mendengar ucapan Imam Asy-Syafi’i:
- “Aku mencintai orang-orang saleh, tetapi aku bukan termasuk golongan mereka. Aku berharap semoga aku mendapatkan syafaat dari mereka.”
- “Aku membenci orang yang barang-barang bawaannya adalah kemaksiatan, walaupun kita sama-sama membawa barang.”
Kemudian Imam Ahmad membalas dengan ucapan:
- “Anda mencintai orang-orang saleh dan Anda ada diantara mereka. Orang yang baik dalam satu kaum, dia akan berada di depan rombongan.”
- “Anda membenci orang yang barang-barang bawaannya adalah kemaksiatan, semoga Allah melepaskan Anda dari barang seperti itu.”
Para pengikut Imam Ahmad tahu kecenderungan Imam Ahmad kepada Imam Asy-Syafi’i. Dia mewasiatkan kepada mereka untuk membaca buku-buku Imam Asy-Syafi’i seraya berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengarang buku sejak munculnya pengikut Sunnah selain Asy-Syafi’i.” Imam Asy-Syafi’i pun membalas pujiannya.
Imam Asy-Syafi’i memasukkan Imam Ahmad bin Hambal sebagai orang-orang yang mengagumkan dan berkata, “Tiga orang Ulama yang menjadi keistimewaan di sepanjang zaman; Pertama, orang Arab Baduy yang tidak tahu satu kata pun, dia adalah Abu Tsaur (dia banyak sekali kesalahan di dalam melafadzkan kata); Kedua, orang asing yang tidak pernah salah dalam satu kata pun, dia adalah Hasan Az-Za’farani; Ketiga, orang yang masih kecil tetapi setiap dia mengatakan sesuatu, orang-orang besar pun membenarkannya. Dia adalah Ahmad bin Hambal.”
Imam Asy-Syafi’i berkata tentang Imam Ahmad, “Aku melihat seorang anak muda di Baghdad, jika dia berkata maka orang-orang pun mengatakan, “Anda benar.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Imam Asy-Syafi’i, dia menjawab, “Ahmad bin Hambal.”
Imam Asy-Syafi’i datang ke kota Baghdad dan Imam Ahmad bin Hambal adalah orang yang selalu menghadiri majlisnya. Dia tidak pernah berpisah dari Imam asy-Syafi’i, kecuali jika pergi jauh. Imam Asy-Syafi’i memperhatikan bahwa Imam Ahmad pernah pergi ke Yaman hanya untuk mencari hadits Abdu Ar-Razik bin Hamam. Imam Asy-Syafi’i mengajukan kepada Khalifah Makmun untuk menjadikan Imam Ahmad sebagai Qadhi di Yaman, karena hal itu dapat memudahkannya untuk mendengarkan hadits dari Abdu Ar-Razik, tanpa harus bersusah payah pergi.
Imam Asy-Syafi’i pun menawarkan hal itu kepada Imam Ahmad bin Hambal, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan Imam Asy-Syafi’i terus merayu agar dia mau menerima tawaran ini. Imam Ahmad berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah jika aku mendengar lagi ini darimu, maka kamu tidak akan lagi melihat diriku.”
Diantara riwayat syair Imam Asy-Syafi’i tentang Imam Ahmad bin Hambal adalah:
- “Mereka mengatakan, “Imam Ahmad mengunjungimu dan Anda pun mengunjunginya.” Aku katakan, “Kemuliaan itu tidak akan memisahkan diri dari tempatnya.”
- “Jika dia mengunjungiku itu karena kemuliaanya, atau jika aku mengunjunginya itu karena kemuliaannya. Kemuliaan itu untuknya pada dua keadaan.”
Semoga Allah memberikan Rahmat-Nya kepada keduanya.

Pujian para ulama kepada Imam Ahmad
- Abdullah bin Maimuni berkata, “Tidak ada yang lebih mulia yang pernah dilihat oleh mataku, selain Imam Ahmad bin Hambal. Tidak ada seorang pun dari Muhadditsin (Ahli Hadits) yang paling mengagungkan larangan-larangan Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam jika benar menurutnya, dan tidak ada seorang pun yang lebih kuat dalam mengikutinya selain dari Ahmad.”
- Abu Bakar As-Sijistani berkata, “Aku pernah bertemu dengan dua ratus masyayikh (guru-guru) ilmu, tidak ada satu pun yang menyerupai Imam Ahmad bin Hambal. Dia tidak pernah menerjuni sesuatu yang dilakukan oleh orang, dan jika disebutkan suatu ilmu, dia langsung berbicara.”
- Abdul Wahab al-Waraq berkata, “Abu Abdullah adalah pemimpin kami, dia adalah orang yang rasikh dalam ilmu. Jika aku berada di hadapan Allah kelak, dan aku ditanya, “Siapa orang yang kamu ikuti?,” akan aku katakan, “Aku mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.” Apa yang dapat dilupakan oleh Imam Ahmad bin Hambal tentang Islam?, dia sudah teruji selama sepuluh tahun tentang masalah ini.”
- Dia juga berkata, “Aku tidak pernah sekalipun melihat orang seperti Imam Ahmad bin Hambal.” Semua orang bertanya kepadanya, “Apa yang terlihat jelas olehmu pada kemuliaan dan keilmuan dari orang-orang yang pernah kamu lihat?.”
Dia menjawab, “Dia adalah orang yang ditanya enam puluh ribu masalah dan menjawabnya dengan “Haddatsana” dan “Akhbarana”.”
- Ibrahim al-Harbi berkata, “Ketika aku melihat Imam Ahmad bin Hambal, maka aku melihat Allah telah mengumpulkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang.” “Dia mengatakan apa yang dikehendakinya dan menyimpan apa yang dikehendakinya.”
- Ibnu Sa’id Ar-Razi berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih hapal hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lebih mengetahui tentang fikih dan makna-maknanya, selain Imam Ahmad bin Hambal.”
- Abu ‘Ashim berkata, “Tidak ada yang paling baik di Baghdad selain orang itu –yaitu Imam Ahmad bin Hambal-, dan tidak pernah datang seorang pun kepada kita yang baik dalam fikih, yang dapat menyamainya.”
- Khallal berkata, “Imam Ahmad pernah menulis buku-buku tentang pemikiran (ra’yu) dan bahkan menghapalnya, tetapi setelah itu dia tidak pernah lagi memperhatikannya.”
- Imam Asy-Syafi’i berkta, “Ketika aku keluar dari Baghdad, tidak ada seorang pun yang aku tinggalkan yang lebih wara’, yang lebih taqwa, yang lebih faqih, dan yang lebih berilmu daripada Imam Ahmad bin Hambal.”
- Pada saat orang-orang berkata pada Ibnu Abi Uwais, “Telah pergi para ahli hadits.” Uwais berkata kepada mereka, “Allah telah menahan Imam Ahmad bin Hambal, maka ahli hadits tidaklah pergi.”
- Ali bin Al-Madaini berkata bahwa pada majlisnya telah disebutkan nama Imam Ahmad bin Hambal, “Semoga Allah menjaga Abu Abdullah. Dia adalah bukti/persaksian Allah kepada makhluk-Nya.” Ali selalu berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan agama dengan dua orang dan tidak ada yang ketiganya; yaitu Abu Bakar pada saat banyaknya orang yang murtad, dan Imam Ahmad bin Hambal pada saat terjadinya mihnah (ujian tentang apakah Al-Qur’an makhluk atau bukan).”
Ali juga berkata, “Tidak ada seorang pun yang melaksanakan perintah Islam setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selain Imam Ahmad bin Hambal.” Ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Hasan, sampai pun Abu Bakar?.” Dia menjawab, “Ya, sampai pun Abu Bakar.” “Sesungguhnya Abu Bakar mempunyai pengikut dan Imam Ahmad bin Hambal tidak mempunyai pengikut.”

Saat sakit dan wafatnya
Imam Ahmad bin Hambal sakit pada malam rabu, dua hari dari bulan Rabiul Awal tahun dua ratus empat puluh satu Hijriah. Sakitnya terus berlangsung hingga sembilan hari. Pada saat sakitnya sudah mulai parah dan orang-orang pun mulai mengetahuinya, maka merekapun menjenguknya siang dan malam.
Penyakitnya semakin parah, pada hari kamis dan sebelum wafat dia memberikan isyarat kepada keluarganya agar dia diwudhukan, kemudian mereka pun mewudhukannya. Ketika berwudhu, Imam Ahmad sambil berdzikir kepada Allah memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-nyela jarinya. Pada hari Jumat, orang-orang telah berkumpul hingga memenuhi gang dan jalan. Sebelum matahari terbit, ruh Imam Ahmad pun meninggalkan jasadnya dan semoga Allah memberikan Rahmat dan Ridha-Nya.
Wafatnya di kota Baghdad pada hari Jumat, bulan Rabiul Awal tahun dua ratus empat puluh satu Hijriah. Pada saat meninggal, dia berusia tujuh puluh tujuh tahun dan dimakamkan di tempat pemakaman Abu Harb. Orang-orang yang hadir dalam pemakamannya tidaklah terhitung dan, orang-orang pun memenuhi tempat kuburannya. Orang-orang masih tetap banyak menengokinya dengan doa, semoga Allah memberi mereka doa dan rahmat, Rahimahullah.
Wallahu a‘lam.


Tidak ada komentar:

Bagi para pengunjung, jangan cuma lihat n copy paste ja. tapi kami sangat berharap jikalau anda berkenan untuk memberi 'COMMENT', atas perhatiannya kami ucapkan beribu-ribu terimakasih.